Seorang ulama dan pendekar yang lahir di Bekasi pada tahun 1907 silam dari pasangan Abdul Karim dan Saefi. Leluhur beliau bernama Baserin yang berasal dari Banten dan merupakan salah seorang prajurit Sultan Agung yang melarikan diri dari kejaran VOC kemudian bersembunyi dan menetap di Kampung Setu, Bintara Jaya, Bekasi. KH Muhammad Tambih atau akrab dengan sapaan Ki Tambih memperdalam dan menguasai ilmu silat beksi yang juga seorang petani, pedagang, dan pejuang kemerdekaan di Bekasi.
Masa Kecilnya Dihabiskan Untuk Menuntut Ilmu dan Belajar Silat
Saat kecil, beliau berguru kepada Guru Musin dan Mualim Nasir untuk memperdalam ilmu nahwu, sharaf, dan tajwid. Kesehariannya juga diwarnai dengan menggembala kambing dan kerbau. Tak cukup sampai disitu, beliau juga berguru silat aliran beksi kepada Bek Martan dari Kampung Rawa Bugel.
Atas kegigihannya dalam belajar silat, Tambih pernah menjatuhkan empat orang tentara Belanda yang bermaksud menangkapnya di sekitar Masjid Kampung Setu. Tambih pernah pula menjatuhkan para pembegal saat dalam perjalanan mengaji ke Guru Marzuki di Kampung Muara.
Riwayat Keluarga
Pada 1929, Kiai Tambih menikah dengan Aminatuz Zuhriyah gadis dari Kampung Pondok Pucung Bintara. Dari pernikahannya dengan Aminatuz zuhriyah dikarunai tiga orang putra dan 3 orang putri. Namun, istrinya meninggal dunia saat KH. Muhammad Tambih mengungsi ke Kampung Ceger/Cikunir. Saat itu sedang terjadi peristiwa Karawang-Bekasi dimana wilayah Bekasi sedang diserang pasukan sekutu dari Pangkalan Halim Pondok Gede.
Dimana Kiai Tambih sedang menghadang laju pasukan Sekutu di daerah Jatiwaringin (sekarang Pangkalan Jati Kalimalang) bersama tentara Hizbullah di bawah pimpinan (Komandan Sektor) seorang pemuda yang bernama Abdul Hamid (KH. Abdul Hamid) dari Jati Bening yang kemudian menjadi menantunya.
Setelah menduda tiga tahun lamanya, KH. Muhammad Tambih menikah lagi dengan Hj. Masnah binti H. Marzuki, anak salah seorang Pengurus Masjid di Rawa Bangke, Kampung Mester (Jatinegara sekarang). Beliau dengan istri kedua tidak dikaruniai anak. Beliau wafat pada 23 April 1977 dan dimakamkan di kampung halamannya, di Kampung Setu, Bintara Jaya, Bekasi Barat.
Pendiri Majelis Taklim Raudhatul Muta’alimin di Kranji, Bekasi
Cukup terkenal pada masanya, Para ustadz dari wilayah Bekasi dan sekitarnya, seperti Lemahabang, Cakung, Klender, Pondok Ungu, Bintara, Jatiwaringin, dan Pondok Gede berbondong-bondong datang ke majelis tersebut.
Sesuai dengan keilmuannya, beliau pernah menduduki karir sebagai Pengasuh Majelis Taklim Raudhatul Muta’allimin, anggota DPRD Tingkat II Bekasi dari Partai NU, dan Pegawai Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi. Terakhir, namanya masuk di jajaran kepengurusan PBNU bagian dakwah.
Namanya Diabadikan Sebagai Nama Jalan
Saat ini nama KH. Muhammad Tambih diabadikan menjadi nama jalan di bawah flyover Summarecon KH Noer Ali. Diresmikan pada tanggal 17 Agustus 2023 berdasarkan Keputusan Wali Kota Bekasi Nomor: 860/Kep.363-Kesos/VIII/2023 tentang Penetapan Nama Tokoh Daerah Dijadikan Nama Jalan di Kota Bekasi. Pengabadian nama beliau sebagai nama jalan tersebut sebagai salah satu bentuk penghormatan tokoh daerah yang memiliki jasa perjuangan bagi kemajuan Kota Bekasi.
Selain KH Muhammad Tambih, ada 11 tokoh daerah asal Bekasi yang namanya juga diabadikan sebagai nama jalan. Bekasinians mau tau kelanjutannya? Minbek bakalan bahas yang lainnya, absen dulu di kolom komen yuk yang mau dibahas~