Bayangkan sebuah RW di tengah Kota Bekasi, sebut saja salah satu RW di kecamatan Pondok Gede. Selama bertahun-tahun, warganya hanya bisa mengeluh tentang saluran air yang mampet dan jalan lingkungan yang berlubang. Setiap kali hujan deras datang, genangan air selalu menjadi langganan. Warga sudah berkali-kali mengajukan proposal ke tingkat kelurahan dan kecamatan, tapi proses birokrasi memakan waktu berbulan-bulan. Bahkan, kadang anggaran baru cair di tahun berikutnya, padahal masalah sudah mendesak belum lagi jika persoalan tersebut proposalnya hilang entah kemana.
Tapi kini situasinya berbeda. Ke depan, dengan adanya program hibah 100 juta per RW yang digagas Wali Kota Bekasi Tri Adhianto, warga bisa langsung bergerak. Dalam musyawarah RW, mereka sepakat menggunakan sebagian dana untuk membuat drainase baru, membeli pompa penyedot air, dan menanam pohon peneduh di sekitar gang. Dalam waktu kurang dari dua bulan, saluran air tersambung rapi dan banjir pun berkurang drastis. Warga tak lagi harus menunggu “surat naik ke meja walikota” untuk mendapatkan solusi.
Contoh lain datang dari wilayah di Bintara. Selama ini, persoalan sampah menjadi momok utama. TPS selalu penuh, dan armada pengangkut sampah terbatas sehingga sampah terus menumpuk dan menimbulkan persoalan lingkungan serta penyakit. Apalagi kita tahu, TPST Bantargebang sudah berada di ambang batas kapasitas dan menjadi sorotan terlebih TPA Sumur Batu sedang dikejar sanksi KLHK dimana selama bertahun-tahun menggunakan metode Open Dumping. Jika terus mengandalkan sistem lama, bukan tidak mungkin sampah di Kota Bekasi akan menumpuk dan menimbulkan krisis lingkungan.
Nantinya, Berkat hibah 100 juta ini, RW-RW yang memiliki persoalan sampah dilingkungan akhirnya bisa membangun bank sampah dan membeli mesin pencacah kompos. Kini, sampah organik diolah menjadi pupuk, sementara sampah anorganik dipilah untuk dijual kembali. Lingkungan jadi lebih bersih, dan pemasukan tambahan pun diperoleh untuk kas RW.
Ada juga case lain di Jatiasih. Sebelumnya, mereka hanya bisa pasrah melihat taman bermain anak yang rusak dan gelap. Lampu penerangan mati, rumput liar menutupi ayunan, membuat anak-anak kehilangan ruang bermain yang aman. Dulu, warga harus menunggu anggaran kota yang antriannya panjang. Sekarang, melalui dana hibah, mereka bisa langsung memperbaiki taman, memasang lampu tenaga surya, dan menambah bangku taman. Hasilnya, setiap sore taman itu kembali ramai dengan tawa anak-anak. Orang tua merasa aman, dan suasana RW jadi lebih hidup.
Dampak Ekonomi yang Berputar di Lingkungan
Selain soal kebersihan, program ini juga menggerakkan ekonomi. Ketika sebuah RW memutuskan membangun taman atau memperbaiki saluran air, warga lokal mendapat pekerjaan, pedagang bahan bangunan kebanjiran pesanan, dan uang berputar di lingkungannya sendiri.
Seperti menanam pohon buah di halaman rumah, hasilnya bisa dinikmati oleh tetangga, anak-anak, dan bahkan tamu yang lewat. Selama ini, banyak program pemerintah hanya berhenti pada pembangunan fisik. Gedung diresmikan, taman dibuat. Namun setelah jadi, tak jarang fasilitas itu tidak terkelola dengan baik, bahkan lebih parahnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, anggaran miliaran rupiah bisa terbuang percuma untuk proyek yang sepi peminat atau cepat rusak karena tidak dirawat. Program yang seharusnya membawa manfaat justru menjadi beban.
Namun, Walikota Bekasi yang akrab disapa Mas Tri memilih jalan sebaliknya. Ia memulai dari apa yang benar-benar dibutuhkan warga, bukan dari keinginan pemerintah. Dana hibah 100 juta per RW mewajibkan setiap lingkungan berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan sendiri proyek prioritasnya. Pemerintah kota hanya memfasilitasi dan mengawasi, bukan memaksakan kehendak. Dengan cara ini, setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar menjawab masalah nyata: banjir, sampah, penerangan jalan, atau ruang bermain anak hingga ekonomi kerakyatan.
Coba kita bayangkan, jika program hibah seperti ini tidak ada, semua persoalan tadi hanya akan menjadi keluhan rutin di grup WhatsApp warga. Jalan berlubang dibiarkan hingga menelan korban. Saluran air mampet menunggu “giliran” dalam daftar panjang proyek kota. Sampah tetap menumpuk di TPS dan akhirnya berakhir di Bantargebang, semakin menekan lahan yang sudah kritis. Warga mungkin hanya bisa mengadakan kerja bakti seadanya, namun keterbatasan dana membuat hasilnya tidak pernah tuntas.
Tentu saja, mengelola anggaran publik sebesar 100 juta per RW tiap tahunnya ini bukan hal kecil. Dana sebesar itu sangat sensitif terhadap potensi penyalahgunaan. Namun, Wali Kota Tri Adhianto sudah menyiapkan aturan ketat dan mekanisme pengawasan berlapis. Setiap RW diwajibkan membuat proposal penggunaan dana, melaporkan hasil kegiatan, dan mempertanggungjawabkan setiap rupiah secara transparan. Ini bukan hanya soal memberi uang, tetapi soal membangun budaya kejujuran dan tanggung jawab di tingkat warga.
Kebijakan ini bukan sekadar program pembangunan fisik. Ini adalah terobosan populis yang menyentuh akar persoalan masyarakat: banjir, sampah, keamanan, dan ruang publik. Warga diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk menentukan sendiri prioritas lingkungannya karna Tri sadar bahwa setiap wilayah punya persoalan yang berbeda-beda.
Tri Adhianto memahami bahwa masalah warga tidak bisa menunggu birokrasi panjang. Dengan cara ini, Kota Bekasi bukan hanya kota yang membangun gedung-gedung besar, tetapi juga kota yang mengutamakan kesejahteraan warganya, gang demi gang, RW demi RW.
Program hibah 100 juta per RW adalah bukti nyata bahwa kebijakan publik bisa sekaligus berpihak kepada masyarakat dan peduli lingkungan. Di tengah tantangan kapasitas Bantargebang yang semakin menipis, program ini menjadi langkah cerdas untuk menekan volume sampah dari sumbernya. Sementara itu, kecepatan realisasi anggaran membuat masalah-masalah kecil di lingkungan tidak menumpuk menjadi bencana besar.
Kota Bekasi kini bergerak dengan cara yang lebih gesit dengan mengedepankan prinsip gotong royong. Semua ini dimulai dari keberanian seorang pemimpin untuk mempercayai dan melibatkan warganya sendiri untuk bersama-sama membangun kota Bekasi.
Ditulis oleh IW